Tentangmu, Kawan.

September 03, 2019


Rajmawati, allahummaghfirlaha warhamha wa afihi wa'fuanha. Kaget mengetahui berita kematianmu hari ini kawan. Engkau teman yang baik dan berkesan. Kutuliskan tentangmu ini beberapa tahun silam. Saat kontak di FB kuberikan link-nya untuk kau baca dan kau menjawabnya haru. Ah, kawan. Kita tak sempat mengenal lebih dalam. Saat itu hanya tentang "betapa sabarnya kamu dan egoisnya aku".

Aku merindukanmu, kawan. Rindu sebagaimana dulu kita duduk melingkar bersama dalam tarbiyah. Bersama menjemput hidayah di bangku SMA. Engkau diantara hari-hariku berseragam putih abu-abu. Kawan, tunggu aku di jannah-Nya.

***

(Tulisan berikut tentangmu Ra, Rajmawati. Kupindahkan dari blog lama):

Dia, sebut saja Ra. Seorang teman yang berasal dari bagian selatan kabupaten. Dialeknya sedikit tak biasa bagi orang kota. Meskipun masih dalam wilayah yang sama, setiap distrik desa memiliki gaya verbal yang berupa-rupa. Satu dengan yang lainnya tak jarang saling mencela. Orang kota merasa lebih keren logatnya. Tapi begitu ke pelosok desa, penduduknya tak mau kalah, bahkan sampai punya olok-olokan khas buat menyindir gaya bicara orang kota yang dianggap lebay luar biasa. Ah, aku hanya bisa tertawa. Menertawakan logat kota jika tersesat di desa-desa. Menertawakan logat desa saat terkucil di belantara kota.

Dia, Ra, temanku itu. Kupilih menjadi teman dekat saat tak menemukan pilihan lain. Kebetulan kami duduk di bangku yang sama. Begitu tahu tempat ia berasal, kupikir bisa akrab dengannya. Desanya adalah jalur yang biasa kulewati jika mudik ke kampung ibu. Dialeknya yang masih canggung terdengar ramah di telingaku. Lagipula anak itu tampak sedikit pemalu, mmm... mungkin hanya sedikit pendiam. Aku yang juga pendiam, mudah akrab dengan orang yang punya tipikal serupa.

Ra juga berjilbab rapi, pembawaannya tenang, santun dan murah senyum. Teman yang menyenangkan, pikirku. Hampir tak pernah menolak jika diminta. Itu kabar baik, karena aku tak bisa berkeliaran dengan tenang di sekitar sekolah, tanpa seseorang yang menemani. Waktu itu, aku memang kuper sekali. Parahnya, suka ge-er sendiri. Sering merasa ada yang mengawasi gerak-gerikku kemana pun pergi. Seorang teman di samping, membuatku lebih nyaman.

Ra begitu baik hati. Tak pernah kudengar mengeluh apalagi sampai protes. Meski kadang-kadang menyadari telah berlaku bak penguasa yang semena-mena. Permintaanku harus dipenuhi, walau hanya sekedar meminta ditemani ke kamar kecil. Aku tak sampai hati berkata atau berlaku kasar. Hanya saja, wajahku yang memelas seolah layak dikasihani. Hihi.... Entahlah, apakah pernah membuatnya kesal? Permintaanku yang seolah tak habis-habisnya mungkin sudah cukup untuk membuat seseorang sebal. Ah, aku tak pernah menyadarinya waktu itu. Tapi Ra tak pernah berkata macam-macam. Ia teman yang sangat sopan, pandai menjaga perasaan. Bahkan saat kumintai pendapatnya..., apakah ada yang salah dengan ekspresiku atau mungkin tadi suaraku terlalu besar, ia menjawab dengan senyuman, bahwa tak ada yang salah dengan diriku. Aku tak tahu apa benar ia berkata jujur.

Selama itu aku mengira, Ra memang penurut. Tak masalah baginya mengiyakan semua permintaan teman. Permintaan seorang teman, itu diksi yang biasa. Selama itu pula aku merasa, tak ada yang keliru jika aku meminta bantuan. Permintaan yang mudah untuk dipenuhi, meski berkali-kali. Hingga kutemukan catatan Ra pada sebuah diari usang zaman SMA. Diantara beberapa testimoni dan pesan-pesan kawan yang sengaja kuminta.

"... Aku sebenarnya senang menemani Si kemana-mana (jalan2 maksudnya) tapi aku jangan dijadikan pengawal gito lho! Hanya ini yang bisa aku katakan tentang kamu. Maaf yach ukhti, kata-kata ini harap jangan disimpan di dalam hati tapi simpan dalam jantung...."

Kalimat-kalimat sebelumnya membuatku cukup terperanjat, ternyata aku dianggap sering memaksakan kehendak. Duh, kawan..., entah tersesat kemana kesadaran ini sampai tak merasa sama sekali. Maaf..., maaf....

Diari yang sempat terlupa karena dititipkan pada seorang kakak selama beberapa tahun, menjadi sangat berjasa untuk menyadarkanku. Pesan-kesan beberapa kawan seolah menamparku. Kali ini bukan tentang kesalahan serupa. Hanya menyangkut perihal yang selama itu terabaikan. Soal penampilanlah, soal catatan yang amburadul-lah, soal penampakan eh pembawaanlah.... Hm, kacamata seorang teman yang jujur rupanya begitu berharga dan..., mendalam.

So, Ra..., ingin kupesankan pula padamu kawan, sampaikanlah jika ada yang salah pada diri temanmu. Ah, tak layak diri ini menyalahkanmu. Dan akhirnya aku memohon maaf karena tak ingat jika engkau pernah menuliskan ini...,

"Pesanku, kelak jika kita berpisah tolong jangan lupakan aku dan kalau bisa kamu harus sering2 menghubungi aku. Entah itu lewat surat ataupun lewat telepon (tergantung keadaan kita nanti di Mks). Ingat ini keharusan yang tidak boleh dilanggar...."

Sekali lagi ingin kukatakan, maaf kawan. Kamu tetap teman terbaik soal menjaga perasaan. Meski harus dengan menahan perasaan pula lebih kurang tiga tahun lamanya. Hiks....

(Makassar, 2015)
***



You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Total Tayangan Halaman