Tentang Penantian dan Pencarian
November 26, 2013
Hatiku
miris saat membaca sederet kisah senada tentang anak manusia yang nyaris lelah
menanti sesuatu yang tak pasti ujungnya. Penantian itu adalah sesuatu yang
sangat penting dalam hidup mereka, mungkin juga bagi sebagian besar dari kita.
Penantian yang banyak mengambil andil bagi masa depan mereka: dunia-akhirat.
Menanti “seseorang” yang Ia kirimkan untuk menyempurnakan separuh diin-nya.
Kisah-kisah
itu sebagian besar -jika tidak semuanya- dilakoni oleh para kaum hawa. Kaum
yang memang seolah ditakdirkan untuk menduduki singgasana penantian, menunggu
uluran tangan kaum adam yang “meliriknya” dengan berbagai alasan. Karena
kecantikannya, karena kekayaannya, karena nasab/keturunannya, karena agamanya.
Empat hal yang menjadi daya tarik seorang hawa di mata adam yang ingin
menjadikannya sebagai pendamping dalam sisa perjalanan hidupnya. Ada yang
meliriknya dengan salah satu hal yang paling menonjol dari keempat itu, ada
juga yang menggabungkan dua atau lebih faktor yang memang dimiliki sang wanita.
Tapi, wanita yang shalihah, yang mencari keridhaan Rabbnya, hanya berharap
dilirik karena agamanya. Bukan karena harta, nasab, atau kecantikan semata. Dia
pun demikian, hanya ingin menunggu pria yang baik agama dan akhlaknya, dua hal yang
mutlak ada pada diri sang pria sebagai jaminan mutu yang tak akan membuatnya
kecewa sepanjang masa. Meski tak ada pria yang benar-benar sempurna seutuhnya
untuk kedua hal itu, setidaknya, yang mendekati dan selalu bersungguh-sungguh
meraih kesempurnaanlah yang pantas ia damba.
Kisah-kisah
senada yang alurnya tak serupa, ada yang endingnya
merajut satu senyuman, ada juga yang nyaris mengurai titik-titik air mata.
Ada
seorang wanita yang sedang galau dalam belitan usia. Hukum alam dan tatap mata
di sekelilingnya mengatakan: ia sudah matang. Naluri keibuannya yang semakin
terasah dengan kehadiran bocah-bocah didiknya semakin membuatnya gamang: ingin
memiliki salah seorang seperti mereka yang begitu menggemaskan dan sanggup membuatnya
lupa dengan kepenatan. Bukan hanya itu ia memang sangat ingin menyempurnakan
din-nya. Ia butuh seseorang yang kehadirannya akan membantunya mewujudkan
keinginan itu. Matanya berurai bening kristal yang menjadi saksi kegundahannya.
Tangannya menengadah mengaju pinta dan penawar duka pada Rabbnya yang memiliki selaksa
perbendaharaan kebahagiaan. Sementara waktu ia hanya bisa tersenyum untuk
senyum bahagia saudari-saudarinya yang telah mendahuluinya meraih keinginan
yang sama. Sembari melafadzkan do’a lamat-lamat dari lubuk hati terdalamnya
agar diberi kesempatan mengikuti jejak mereka. Saat ini ia hanya bisa mengucap
do’a dan haturan selamat bagi saudarinya yang merona bahagia. Ia pun berharap,
kelak akan mendengar bisikan do’a yang sama.
Wanita lain kisahnya begini: ia juga berada dalam
episode penantian. Tak hanya sekedar menanti, dengan bantuan saudarinya yang
lain ia melakukan ta’aruf dengan pria yang -insyaAllah- diyakini kebaikan
agamanya. Prosesi syar’i pun dilakukan, dan sang pria berjanji akan mengabarkan
keputusannya beberapa hari kemudian. Wanita ini hanya bisa bersabar, sempat
terbetik ragu dalam hatinya. Keraguan itu terjawab: pria yang pernah menemuinya
memutuskan untuk tidak melanjutkan penjajakannya ke tahap yang lebih
menentukan. Hatinya pun masygul, rupanya Rabbnya belum berkenan mengirim
seseorang yang namanya benar-benar tertulis di Lauh Mahfuz sebagai “teman
hidupnya”. Ia sebenarnya kecewa, tapi tak ingin putus asa. Di hari-hari
selanjutnya, saudarinya beserta sang
suami yang dulu menjadi mediator prosesi ta’aruf sebelumnya, datang lagi
menawarkan seseorang yang juga berniat melakukan prosesi yang sama dengannya.
Meski masih tersisa kecewa masa lalu yang kini membuatnya tak lagi berani terlalu
meyakinkan diri, dengan menguatkan hati ia pun bersedia. Berharap ini yang
kesekian kalinya. Ta’aruf pun dilakukan, kali ini tak seribet yang dulu. Semuanya berjalan lancar, dan pria itu mengucapkan
hal yang senada dengan yang dikatakan oleh pria terdahulu. “Saya sudah seringkali
mendengar hal itu” jawabnya datar pada sang pria di balik hijab. Pria itu
berusaha meyakinkannya. Tapi ia tak ingin menitip harap terlalu tinggi kali
ini, takut mendulang kecewa yang sama. Alhamdulillah,
akhirnya pria itu datang kembali sesuai janjinya. Memastikan ikatan mereka
dalam bahtera yang -insyaAllah- diridhai.
Ada
juga seorang wanita yang mengalami dilema yang tak jauh berbeda. Ia bukannya
“tak laku”, tapi kesibukannya berbakti pada sang ibu membuatnya “lupa”
memikirkan keinginannya lebih jauh. Disaat kehidupannya lebih mapan dan usianya
pun tak lagi muda, ia baru tersadar sudah semestinya ia tak hanya bergulat dengan kesendirian. Sepantasnya ada
seseorang yang membuat hari-harinya lebih berwarna. Membuat beban hidupnya
lebih ringan. Tapi sayangnya, yang datang “menemuinya” belum ada yang sesuai
dengan angannya. Sosok yang ia nanti bukanlah sosok “super”, yang ia inginkan
hanya yang baik agamanya. Karena hanya hal itu yang lebih menenangkan jiwanya,
yang mampu meyakinkannya untuk bisa memberikan segenap cintanya yang tulus
sebagai istri yang taat dan shalihah nantinya. Sayang, ia belum menemukan
cercah harapnya itu. Sementara hari terus berganti, detik demi detik melaju
tanpa henti. Gamang akan waktu yang terus berjalan memainkan ketenangannya,
nyaris menggetarkan benteng ketegarannya. Hampir saja ia menyerah, ingin
membiarkan hatinya meluluh: menerima kehadiran sosok lain meski ia tak yakin
dengan garansi keimanan sosok itu. Entah bagaimana akhir penantiannya jika hal itu
memang telah berakhir kini. Baginya kukirimkan harap: semoga ia tetap
memijakkan kakinya dengan teguh di jalan yang paling terang.
…
Tak ada yang salah bagi mereka yang ingin
menyegerakan untuk menggenapkan separuh din-nya. Bukankah hal itu adalah
anjuran rasulullah? Melaksanakannya berarti lebih dekat dengan sunnah beliau.
Juga bukan sesuatu yang tak lazim jika ada seseorang yang gamang karena belum
menemukan sosok yang dijanjikan Allah baginya sementara usianya pun sudah “terlalu”
matang, khususnya bagi kaum hawa yang kebanyakan memilih bertahan di “ruang
tunggu”. Meski mengajukan diri dan meminta bantuan dengan cara patut dan syar’i
juga bukan hal yang tercela. Rasa malu masih lebih sering bertakhta.
Sama sekali tak salah memang. Tapi hatiku tetap miris
mengeja deret kata dalam kisah-kisah itu. Miris, karena menyayangkan mereka
yang sempat larut dalam kegundahannya. Terlalu lamakah penantiannya? Terlalu
dalamkah dukanya? Sudah sepantasnyakah air mata berurai karenanya?
Aku tak sedang ingin menganggap kisah-kisah itu
sebagai aib. Toh, mereka tak melakukan kesalahan fatal yang melanggar syariat.
Kekecewaan merekalah yang membuatku kecewa. Kegundahan merekalah yang membuatku
gundah. Kesedihan merekalah yang juga membuatku sedih. Kecewa, gundah, dan
sedih karena aku yakin mereka dan yang lainnya yang bernasib serupa: tak
semestinya merasakan hal yang sejauh itu. Mengapa?
Cobalah kembali menekuri lembaran sejarah bertinta
emas yang pernah diukir oleh para salaf terdahulu. Lembaran berharga tak
ternilai yang mengisahkan jiwa-jiwa teladan di masa mereka dan setelahnya.
Merekalah pemilik cita-cita tertinggi di muka bumi ini. Cita-cita yang
diwariskan oleh para anbiya, salafushshaleh, serta orang-orang yang tetap dalam
keteguhan imannya. Cita-cita untuk mengemban risalah nabiyullah. Untuk itu
mereka mereguk ilmu sepuasnya untuk dialirkan kembali ke muara ilmu berikutnya
yang kelak akan melegakan dahaga generasi rabbani setelahnya.
Tak kutemukan kemasygulan dan pencarian panjang untuk
menemukan “seseorang” di jalanNya dalam bait-bait yang mengisahkan hari-hari
mereka. Cita-cita yang lebih mulia telah menyibukkan mereka. Hari-hari mereka
tak banyak disibukkan untuk menanti atau mencari “seseorang” yang namanya
tertulis di Lauh Mahfuz. Hingga Allah-lah yang memutuskan kapan mereka
menemukannya atau bahkan
tidak menemukannya untuk sementara di dunia ini. Mereka tak ingin menguras lebih
banyak waktu dan tenaga untuk itu.
Sebagian dari mereka
tetap mencari pendampingnya, tapi tak sampai sibuk apalagi gamang karenanya. Sebagian
bahkan tak lagi berpikir tentangnya. Kecintaan akan ilmu terlanjur memikat hati
mereka. Mengalahkan cinta pada apapun setelah pada Allah dan rasulNya. Samudera
ilmu yang begitu dalam dan luas tak memiliki batas untuk diselami. Karenanya
mereka memutuskan untuk menyibukkan diri menyelaminya sepanjang hela nafas yang
ada. Mereka bukanlah sosok
egois dengan egoisme yang aneh. Mereka justru sedang “mengorbankan” diri untuk
menebar lebih banyak mutiara bagi orang-orang di sekitarnya, yang semasa
dengannya dan terutama bagi generasi kemudian yang akan mencerap beribu hikmah
dari jejaknya. Mereka telah memilih menjadi sosok terdepan untuk memberi lebih
banyak manfaat bagi sesamanya. Mereka tak menginginkan yang lebih jauh dari
itu, selain memperoleh keridhaan yang lebih dekat dari Rabbnya.
Syaikh Abdul Fattah dalam bukunya yang menggugah –Karena Ilmu Mereka Rela Membujang-
mengungkap lembar-lembar emas para ulama yang memilih hidup dalam kesendirian
demi menuntut dan menyebar ilmu. Buku ini sengaja kubeli untuk memotivasi diri
sendiri. Bukan memotivasi untuk tidak menikah karena anjuran untuk itu tetap
tak dibenarkan, tapi lebih untuk menyadarkan diri bahwa ada cita-cita yang
lebih tinggi dari sekedar keinginan itu. Menyelami lautan ilmu hingga ke
dasar-dasarnya yang tak berbatas. Mengapa tak menyibukkan diri saja menekuri
lembar-lembar warisan para nabi dan pelanjut estafetnya daripada merenda angan
akan kehadiran seseorang yang membuat senyummu urung terkulum?
Ilmu sanggup memikat
hatimu dari selainnya jika engkaupun memutuskan untuk “terpikat” olehnya. Persoalan
jodoh adalah ketentuan dan misteri-Nya. Sangat misterius. Terkadang berlari
semakin jauh saat dikejar, kadang datang sendiri saat tak dinanti.
Kadang-kadang Allah memang tak mempertemukan seseorang dengan pasangannya di
dunia ini, tapi menundanya untuk masa dan tempat yang lebih indah. Jika kita
tetap berpijak dengan teguh dalam koridor keimanan dan keridhaanNya, yakinlah:
kita akan bertemu dengan “seseorang” yang namanya telah tertulis di Lauh
Mahfuzh untuk kita.
Sebut
saja Ibnu Taimiyah. Siapa thalabul’ilmi
yang tak mengenalnya? Dialah gudang ilmu yang dikenal dengan gelar “Syaikhul
Islam”. Gelar yang bukan dia sendiri yang menisbatkan pada dirinya. Sepanjang
hidupnya sibuk dengan belajar dan mengajarkan ilmuNya. Mendekatkan diri pada
Rabbnya semata. Membela agamaNya.
Memurnikan keta’atan pada sang Khalik. Mengarahkan angan dan segenap hati hanya
padaNya dan keridhaanNya. Meski untuk semua itu tak sedikit deraan derita yang
menerpanya. Penjara menjadi saksi bisu kesetiaannya dalam keteguhan yang tak
mengenal kata lelah. Ia tak sempat memikirkan pendamping hidup yang bisa
menemani dan meringankan bebannya. Cintanya telah terjerat di akar-akar
ilmuNya. Ia pun wafat di usia 67 tahun, tanpa menikah. Dengan meninggalkan
warisan tak ternilai, kurang lebih 500-an jilid kitab.
Satu lagi, Ibnu Jarir Ath-Thabari. Ada yang belum
mengenalnya? Masa muda dan tuanya berjalan di atas samudera ilmu yang tak
bertepi, hingga ketentuanNya datang mengakhiri perjalanannya, masih dalam dekap
ilmu. Menjadi hafizh di usia 7 tahun, menulis hadits di usia 9 tahun,
meninggalkan negeri di usia 12 tahun untuk memenuhi ajakan rindunya. Kerinduan untuk
segera merengkuh ilmu ke dalam dadanya, seluas-luasnya, sebanyak yang ia mampu.
Empat puluh tahun di usia terakhirnya ia mampu menulis sebanyak 40 lembar dalam
sehari. Bayangkan! Bagaimana orang sesibuk beliau sempat berpikir selain ilmu?!
Ia terlanjur jatuh hati pada ilmu-ilmu
yang telah Allah bukakan dan mudahkan untuknya, hingga tak ada satu pun selain
itu yang sanggup mengalihkan pandangan dan perhatiannya.
Cita-cita Ath-Thabari begitu tinggi, mengungguli
cita-cita dan semangat yang dimiliki teman-temannya. Ketika ia menawarkan
mereka untuk menulis tafsir Al-Qur’an dan sejarah dunia sejak Adam, mereka
menyerah begitu dikatakan bahwa jumlah masing-masing halamannya adalah 30.000
halaman. Ath-Thabari pun hanya meringkasnya sekitar 3.000 halaman. Beliau
berkata, “Innalillah. Sungguh
cita-cita besar itu telah mati!”. Apa yang akan beliau katakan jika menjumpai
keadaan kita sekarang? Generasinya kini banyak yang melemah, tak memiliki
optimisme setinggi beliau meski usia lebih muda, tenaga lebih optimal. Apa
kiranya yang akan beliau katakan jika menemukan salah seorang dari kita: yang
sedang galau dalam penantian atau pencarian seorang “teman hidup”? Meski
penantian dan pencarian itu tetap berdalih untuk meraih keridhaanNya?
Mungkin ada diantara kaum hawa yang mengatakan, itu
karena mereka laki-laki. Kekuatan akal mereka mengalahkan pertimbangan
perasaan. Mereka jauh lebih sanggup untuk tegar, lebih sanggup menutup telinga
atas jerit hati yang meminta hadirnya seseorang yang sedang dinanti. Kami
berbeda, perasaan kami lebih halus, lebih mudah luluh setelah membangun
ketegaran dengan terbata.
Tapi…benarkah?
Baiklah akan kusampaikan sepenggal kisah tentang
seorang wanita, masih dari buku yang sama. Bagi yang telah membacanya tentu
tahu siapa yang kumaksudkan. Karimah Al-Marwaziyyah. Gelarnya Ummul Kiram.
Ibnul Jauzi menyebutkan, “Pada tahun tersebut (463 H), telah wafat Karimah
binti Ahmad bin Muhammad bin Abi Hatim Al-Marwaziyyah. Beliau adalah seorang
wanita ahli ilmu nan shalihah. Beliau belajar hadits dari Abu Al-Haitsam
Al-Kusymihani dan yang lainnya. Ada sejumlah imam yang belajar darinya,
diantaranya adalah Al-Khatib, Ibnu Al-Muththalib, As-Sam’ani, dan Abu Thalib
Az-Zainabi.”
Karimah adalah wanita cerdas dan meninggalkan harta
berharga dalam goresan penanya. Salah satu sumber ilmu di zamannya yang tidak
pernah menikah. Ia mutiara di dasar lautan ilmu dalam kerang yang begitu kokoh.
Aku
juga mengenal beberapa akhwat di masa
ini yang juga nyaris “lupa” memikirkan kehadiran sosok yang akan menggenapkan
din-nya. Mereka adalah para aktivis yang larut dalam kesibukan berdakwah dan
menebar mutiara ilmu. Diantara mereka bahkan sebenarnya tak perlu terlalu lama
“menanti” untuk menemukan pendamping hidup, tak jarang mereka sendiri yang
ditawari. Tapi dunia dakwah dan penyebaran ilmu Allah masih mendapat porsi kecintaan
yang lebih besar. Hingga akhirnya ketika waktunya dianggap telah tiba dan Allah
pun membuka jalan yang lebih lebar untuk itu, mereka merelakan sebuah tempat
bagi kehadiran seseorang yang digariskan takdirnya untuk menemani hari-hari
esoknya. Dengannya, mereka melanjutkan estafet perjuangan bersama-sama,
perjuangan meraih keridhaanNya.
Apakah
penting membahas mereka sebagai seorang pria atau seorang wanita? Jenis kelamin
bukanlah hal yang membuat mereka menonjol dari yang lainnya. Toh dalam pandanganNya
kita pun sama, yang membedakan hanyalah kualitas ketakwaan dalam garisnya
masing-masing. Keteguhan hati dan prinsip yang mereka peganglah yang membuat
nama mereka cemerlang. Tentang keputusan untuk “menyendiri” demi ilmu dan
dakwah.
Sekali
lagi, aku sama sekali tak ingin menghasut siapapun untuk mengikuti jejak
kesendirian mereka. Aku tetap sepakat bahwa mengikuti anjuran rasulullah tetap
pilihan yang terbaik. Tapi aku ingin mengajak hati ini dan hati siapapun yang
bersaudara denganku dalam iman, untuk memiliki hati yang serupa dengan mereka.
Hati yang terjerat dengan kecintaan akan ilmu yang tak menyisakan tempat bagi
kegalauan menanti seseorang. Jika saatnya tiba, izinkanlah seseorang yang
namanya tercatat di Lauh Mahfuzh itu untuk menggenapkan din-mu. Bagaimanapun,
ilmu dan dakwah meminta generasi yang akan mewarisi dan menyambung estafetnya.
Tapi jika saat itu belum juga memberikan tanda, biarkan hati dan fikirmu sibuk
menyelami ilmu, biarkan ragamu lelah dalam mengemban amanah dakwah. Masih
banyak hal berarti yang sanggup membuatmu sejenak lupa, pada “penantian” dan “pencarian“.
(11-12/05/09)
0 comments