Menemukan Makna lewat Tarbiyah di Wahdah Islamiyah
November 05, 2017Begitupun denganku. Ada banyak kebingungan menghantui, kegelisahan selalu saja rasanya mengintai, dan itu bertambah dengan berbagai pertanyaan yang bermain di benakku seolah tanpa henti. Aku masih duduk di bangku SD disaat pertanyaan membingungkan itu bermunculan tanpa jawaban. Mengapa aku ada? Mengapa aku hidup? Jika aku tak ada apa yang akan terjadi, adakah sesuatu yang berbeda pada dunia tanpa keberadaanku? Apa yang akan kurasakan jika mati atau tiada? Saat kumenutup mata, tak ada yang terlihat kecuali kegelapan. Apakah kira-kira seperti itu rasanya jika kita tidak ada? Tak melihat dan tak merasakan sesuatu di sekitarnya?
Mungkin sejak saat itu, tanpa sadar aku telah merasakan ada sesuatu yang kosong dalam hidupku. Sebuah celah yang hanya bisa ditutupi dengan jawaban yang menenangkan. Jawaban tentang berbagai pertanyaan akan hakikat kehidupan. Tapi tak pernah kutemukan jawabannya. Aku bahkan tak punya keberanian menanyakannya kepada orang-orang di sekitarku. Bertanya tentang hidup? Sesuatu yang dianggap biasa dan dilakoni oleh semua manusia? Atau adakah orang yang juga pernah bertanya sepertiku? Bisa saja kan? Tapi mengapa tak terlihat gurat kebingungan di wajah-wajah mereka? Tak ada yang sekalipun bertanya, mengapa aku hidup? Lagipula, pertanyaan macam apa itu? Mungkin orang-orang akan menganggapku aneh lalu menertawakanku. Pfhfh...
Lalu, hari-hari berjalan seperti biasa. Meski tetap saja ada yang tak biasa kurasakan di dalam hati. Apakah karena aku memikirkan serta merasakan sesuatu lebih dalam dari kebanyakan orang? Entahlah, yang jelas waktu bergulir hingga nyaris tak terasa. Seolah tak peduli pada apa yang kualami dengan segala dramanya, kehidupan terus berjalan sebagaimana mestinya. Kudapati diriku telah berstatus mahasiswa kala menyelami hidayah lewat tarbiyah. Sebuah kata yang mengantarku menemui jawaban-jawaban atas seluruh pertanyaan tentang hakikat kehidupan, bahkan juga kematian.
Tarbiyah, yang mulai kukenal sejak SMA, mengubahku dengan perlahan. Sangat
perlahan. Di saat teman-teman yang lain bermetamorfosa dengan cepat dan
signifikan, aku bagai kura-kura yang pelan berjalan. Di saat yang lain tanpa
ragu menerima serta menjalankan amanah penuh keyakinan, aku berjalan
maju-mundur diantara fluktuasi semangat sekaligus kekhawatiran tak jelas yang
sesekali melumpuhkan.
Pernah, aku merasa jenuh dan bosan. Duduk di halaqah tarbiyah seakan hanya
menggugurkan kewajiban. Melengkapi catatan dan menghafalkan ayat Al-Qur'an
terasa menjadi beban karena lagi-lagi hanya dianggap sebagai salah satu tugas
diantara berbagai rutinitas. Aku pernah lupa, niat awal yang mendorongku untuk
tarbiyah. Saat itu aku lupa, kali pertama merasakan nikmat di tengah majelis
ilmu yang melazimkan kalamullah dan sabda Rasulullah. Wal'iyyadzubillah, entah
kelalaian apa yang membuatku lupa.
Namun kejenuhan di awal-awal tarbiyah tak lantas membuatku
berhenti. Selagi pikiran masih jernih, tak akan ada pilihan bagiku untuk meninggalkannya
sama sekali. Hingga suatu hari..., sebuah ujian yang beratnya terasa merayap
hingga ke ubun-ubun nyaris menghentikan akal sehatku. Aku berhenti tarbiyah.
Ujian yang andai ditimbang dengan cobaan Nabi Ayyub 'alaihissalam mungkin hanya
seujung kuku itu, membawaku pada titik nadir. Aku tak peduli dengan teman-teman
yang sibuk menanyakan, aku bahkan tak lagi punya semangat hidup. Kuliahku
yang memasuki tahun terakhir kubiarkan terlunta. Aku beran-benar nyaris
menyerah, hampir kalah dengan musibah yang menimpa. Hidup segan mati pun
enggan.
Entah bagaimana caranya, aku tiba-tiba bangkit dari keterpurukan. Bermula dari ketukan di pintu, teman-teman tarbiyah datang menemuiku. Tentu saja aku tak sampai hati untuk mengacuhkannya. Tanpa banyak ceramah, mereka mengajakku kembali tarbiyah. Sesuatu yang sebenarnya telah lama kurindukan. Hati tak hanya terasa kosong, tapi juga terasa kering tanpa siraman taujihat setiap pekan. Dan adalah wajah serta suara murabbiyahku-lah yang paling kurindukan. Tak ada yang salah dengan beliau. Tak ada yang salah dengan petuah-petuahnya di awal tarbiyah yang menyejukkan hati. Aku yang salah karena meninggalkan majelis yang penuh berkah hanya karena sebuah musibah. Ah, betapa cengengnya diri ini kala itu.
"Apakah kamu ikhlas...?" bagai tersengat lebah, sesaat aku terpana kala Ummu Abbad, murabbiyahku, bertanya. Seakan ingin kubertanya balik kepada beliau, mengapa menanyaiku seperti itu?
"Aku sedang mencoba Um, sedang belajar ikhlas..." sedikit tergagap aku menjawab sekenanya.
"La' (tidak)...!" beliau menggeleng kuat-kuat dan menatapku.
"Tidak seperti itu. Ikhlas tidak dipelajari... tapi diamalkan." demikian kurang lebih tegasnya. Mataku berkaca dan tak mampu menahan haru yang sesekali masih berbaur dengan rasa sedih. Ya, aku tahu. Aku paham Um, batinku.
Rasanya airmata ingin tumpah di hadapannya. Kata-kata itu sudah cukup. Cukup untuk membungkam semua keluhan. Cukup untuk memadamkan panas di dada yang sesak oleh musibah.
Apakah aku ikhlas...? Bukan, bukan belajar atau mencoba... tapi
cukup dengan mengamalkan apa yang kuketahui sebagai definisinya. Bukankah
ikhlas artinya menerima? Menerima sepenuhnya, rela tanpa syarat atas seluruh
takdir baik dan burukNya. Ikhlas berarti seluruh amalan, perilaku dan perasaan
tak memiliki tendensi apapun selain ditujukan kepadaNya. Segala amalan lahir
dan batin berorientasi kepadaNya, rela atas semua keputusanNya.
Ikhlas. Kata yang begitu ringan di lisan dan akrab di pendengaran,
nyatanya masih berat dalam pengamalan. Andai ikhlas telah membumi pada diri
yang manusiawi, maka ia akan membuat segala yang dialami terlihat mudah dan
terasa ringan biidznillah. Cukup dengan modal ikhlas, seseorang
yang telah meyakini kebenaran apa yang ia lakoni, mengetahui bahwa tarbiyah
adalah jalan Sang Nabi... tak akan berlari pergi hanya karena kecewa pada
sesama manusia, atau karena ada aspirasi yang tak terpenuhi, atau karena
cobaan yang bertubi-tubi. Ikhlas membuatmu bertahan seteguh karang memegang
dan melazimi kebenaran, karena pandangan dan penilaian manusia tak lagi
berarti, yang tertinggal hanya keinginan meraih keridhaan Ilahi.
***
Kini semakin
kusadari, apapun yang terjadi, satu hal yang tak boleh terhenti adalah
menghadiri tarbiyah yang sebagaimana makna katanya, sarat dengan ilmu dan
pembinaan diri. Ilmu yang landasannya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
cara-cara yang diajarkan oleh Nabiyullah beserta para sahabat dan ulama
seluruhnya. Tarbiyah adalah peletak batu pertama bagi pondasi bangunan umat
Islam yang kokoh. Dengan kuatnya aqidah dan amalan yang shahih, melahirkan
generasi-generasi Rabbani yang tangguh dengan bersinergi di setiap sisi. Di
sini kita belajar, memulai dengan membenahi diri di bawah pengarahan para
murabbi dan murabbiyah. Berislam dengan benar sesuai tuntunan Nabi, lalu turut
menyadarkan manusia yang masih lupa akan hakikat dirinya sebagai hamba yang
sejati.
Lewat tarbiyah dengan
berbagai tugas pengembangan diri di dalamnya, kita pelan-pelan berusaha
memperbaiki diri. Hijrah di semua sisi, hijrah dalam arti yang sesungguhnya.
Hijrah dengan membenahi pakaian, pikiran bahkan perasaan. Tak mencukupkan
hidayah bagi pribadi, tapi juga menularkannya pada orang-orang lain di sekitar.
Dengan tarbiyah kutemukan makna hidup sesungguhnya. Aktivitas saling menasihati dan berbagi ilmu membuat hidup semakin hidup. Terhindar dari kejumudan dan dangkalnya angan-angan, karena kita belajar bermimpi dan bercita-cita besar. Bermanfaat tak hanya bagi diri dan keluarga, tapi juga bagi umat manusia seluruhnya. Menginginkan manusia turut merasakan nikmat iman yang sama, yang tak bisa dibagi kecuali lewat majelis-majelis ilmu yang diberkahi, dengannya kita dijauhkan dari golongan orang-orang yang merugi.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).
Rasulullah telah
membuktikan, manusia-manusia unggulan hanya lahir dengan pendidikan dan
pembinaan yang terarah. Insan teladan tak bisa lahir dengan sekadar membaca
buku-buku, atau mencukupkan diri dengan pengajian-pengajian yang didatangi dan
ditinggalkan sesuka hati. Tarbiyah nabawiyah berhasil mengubah Bilal bin Rabah, dari seorang budak belian menjadi sosok istimewa di sisi Rasulullah. Tarbiyah mengubah Umar Al-Faruq, dari seorang penyembah berhala menjadi pembela agama yang bahkan setan pun segan padanya. Begitupun dengan para sahabat lainnya, mereka bahkan mendapat pengakuan langsung dari Allah Azza wa Jalla sebagai umat terbaik yang pernah ada.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imran: 110)***
Kutepikan sepeda
motor di depan sebuah masjid. Sedikit ragu hendak parkir di mana karena
kendaraan yang keluar-masuk kompleks biasanya melintas di sana. Aku hampir saja
masuk lewat pintu jamaah laki-laki sebelum akhirnya menyadari ada pintu yang
arahnya memutar di samping menuju shaf jamaah perempuan. Untungnya suasana sepi
karena waktu shalat Ashar telah lewat beberapa menit.
“Ibu yang biasanya
ikut majelisnya kak Er ya…?” tebakku saat menyapa seorang wanita paruh baya
yang tengah duduk sendiri di dalam masjid. Wanita tersebut tersenyum dan
mengiyakan. Lalu percakapan kecil mengalir diantara kami sembari menunggu
peserta lain yang belum datang.
“Ingat ya Ri,
banyak-banyak tersenyum ya nanti…” chat kak Er yang mewanti-wanti di WAG
tarbiyah kami masih terngiang-ngiang, ditimpali dengan emoticon senyum dan tawa oleh teman yang lain. Ada sedikit perasaan
terbebani, Rabb… aku akan mengajarkan
sedikit dari ilmu agamaMu kepada mereka yang seusia ibuku? Tapi jika
orang-orang sepertiku menolak tugas mulia ini, siapa yang akan mengambilnya?
Apakah oleh
orang-orang yang baru belajar agama sehari? Apakah oleh orang-orang yang dasar
agamanya tak jelas atau bahkan dicampuri oleh banyak pendapat pribadi? Kepada
siapa tugas ini patut dibebankan, jika orang-orang yang telah mendapatkan ilmu
justru menolak menerimanya? Sedang kaum kuffar dan liberal berlomba mencari
pengikut dari seluruh kalangan manusia…!?
Sungguh, aku tak lagi
kagum kepada individu-individu yang cerdas dan shalih untuk dirinya saja. Aku
kagum kepada mereka, manusia-manusia yang terlihat biasa dan sederhana namun
bersedia mengemban amanah mulia sebagai penyambung estafet dakwah. Mereka yang
memastikan nadi tarbiyah tetap berdenyut di seluruh nusantara hingga kalimat
Allah membumi di Indonesia.
***
Kututup materi dengan
doa penutup majelis. Ahad sore yang berkesan karena telah mengembalikan
perasaan yang lama menghilang. Menyampaikan materi yang sarat makna sembari
berkontemplasi sungguh sulit dijabarkan lewat diksi. Benarlah kalamNya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad: 7)
Mungkin Allah tak
menurunkan pertolongan dalam bentuk yang kasat mata, tapi menurunkan ketenangan
yang memenuhi dan mencukupi jiwa.
Kini tak ada lagi
pinta selain istiqomah di atas jalan yang di ridhoiNya. Melazimi dakwah dan
tarbiyah bersama Wahdah Islamiyah. Meski masalah tak pernah berhenti, meski ujian
datangnya silih berganti, meski kekurangan masih melingkupi diri… tak ada kata
berhenti di jalan ini hingga Al-Maut datang menjemput jiwa-jiwa kami. Yaa Muqallibal qulub… tsabbit qalbi alaa
diinik.
0 comments