Mengeja Hidayah Bersama Wahdah Islamiyah

November 03, 2017



Entah kapan tepatnya, aku mengeja kata "hidayah". Aku lupa, bahkan tak pernah mencatat tanggalnya. Hanya saja, yang terekam jelas di ingatan, saat itu adalah fase dimana seorang insan sangat mungkin mengalami banyak guncangan. Masa remaja yang lekat dengan diksi "storm and stress", masa putih abu-abu yang penuh badai. Salah seorang sepupu bahkan sempat mewanti-wanti,

"Eh tahu nggak, masa SMA itu masa puber lho, kamu pasti akan mengalaminya..." kurang lebih demikian ucapnya. Aku tak lantas percaya, bukan... aku bahkan tak mau percaya. Ya Allah, kata "puber" biasanya berkonotasi negatif atau berkaitan dengan lawan jenis. 

Tahun 2002, awal kumenyusun cita-cita yang tak biasa menjelang SMA. Dimulai dengan seragam sekolah, aku meminta izin untuk mengenakan baju lengan panjang, rok panjang lengkap dengan jilbabnya. Terinspirasi oleh teman kelas sekaligus tetangga yang kala itu kerap kujumpai mengenakan busana tertutup di sekitar rumah. Walaupun terlihat sedikit aneh karena masih memakai seragam pendek jika ke sekolah. Alhamdulillah, ayah dan ibu setuju saja. Semuanya berjalan lancar kecuali satu hal, entah mengapa rasanya aku terlihat lebih jelek saat melihat bayangan diriku dengan busana tertutup di cermin.

Maka kumulailah petualangan baru dengan seragam putih abu-abu. Mencoba-coba bergabung dengan satu-dua ekstrakurikuler sebelum lalu akhirnya berlabuh di Rohis. Satu-satunya organisasi intra sekolah yang kuikuti dan akhirnya melempangkan jalanku semakin mengenal hidayah. Mulai rutin mengikuti kajian pekanan di mushalla, duduk melingkar bersama teman-teman dari beberapa kelas. Kujabani hampir semua program Rohis termasuk mabit dan rihlah. Undangan apapun yang ada embel-embel pengajiannya selalu berusaha kupenuhi. 

Sejauh itu perjalananku masih aman, aku hampir lupa dengan kata "pubertas" yang sempat membuatku was-was. Peringatan si kakak sepupu saban hari ternyata tak pernah terbukti. Aku jatuh cinta pada hal lain. Sesuatu yang ketika semakin mengenalnya justru semakin menenangkan. Bukan cinta semu seperti halnya cinta pada manusia yang kerap menggelisahkan. Kurasakan dahaga mereguk ilmu agama yang tak pernah usai. Hingga suatu waktu lewat perbincangan sederhana bersama dua orang teman, kuketahui ada kajian lain yang mereka ikuti selain kajian Rohis di sekolah. Didorong rasa penasaran aku terus bertanya tentang apa saja yang mereka pelajari. Salah seorang teman menegaskan, di tempat kajian tersebut materinya lebih berat, ada hafalan hadits dan ayat. Seperti biasa, aku yang bawaannya mudah terintimidasi sedikit ragu sebelum memutuskan untuk ikut bergabung. Tapi rasa penasaran mengalahkan semua kekhawatiran, aku pun meminta untuk diikutkan dalam kajian mereka. 

Hari itu, hari Jumat dan lagi-lagi aku tak pernah mengingat tanggalnya. Sepulang sekolah dengan berjalan kaki bersama beberapa siswi lain yang belum kuakrabi, kulangkahkan kaki sembari harap-harap cemas dalam hati, apa yang akan kudapatkan nanti...? Saat kami sampai, kudapati sosok yang menyita perhatianku dengan kain jilbab panjang dan lebar yang menutupi hingga kedua tangannya. Aku sedikit terpana dengan jilbab besar yang dikenakannya, tapi itu tak membuatku terganggu. Senyum dan keramahannya mencairkan suasana.  

Apa yang kami pelajari? Persis dengan keterangan teman sebelumnya, dari awal hingga usai materi dipenuhi dengan dalil entah dari Al-Qur'an atau hadist-hadits Rasulullah. Ini yang kucari, batinku. Ilmu agama yang diambil langsung dari sumbernya. Siapapun tahu atau setidaknya sebagian besar umat Islam pasti tahu, bahwa pegangan kita dalam beragama adalah keduanya. Kalam Allah dan sabda rasulNya atau penjelasan tentang keduanya. 

Jumat siang yang selalu terkenang, terus kulalui bersama teman-teman pengajian. Kegiatan rutin pekanan yang akhirnya kuketahui sebagai "tarbiyah". Hingga suatu hari aku mendapat teguran dari seorang pembina di Rohis sekolah. Aku lupa apa persis wejangannya, intinya meminta kami yang baru bergabung agar tidak melanjutkan kajian di sana lagi. Meski logikaku sulit menerima, dengan berat hati awalnya kata si kakak kupatuhi. Kakak kelas yang lain, teman pengajianku tiap Jumat, akhirnya datang mempertanyakan mengapa aku berhenti tarbiyah. Dengan polos kukatakan saja apa adanya. Perbincangan kami membuatku berpikir. Mengapa aku harus membeo pada kata-kata manusia? Aku sempat bingung sebaiknya mempercayai siapa. Lalu kukatakan pada diriku bahwa persoalan agama adalah persoalan hubunganku dengan Sang Pencipta. Naif sekali rasanya jika aku berhenti mencari apa yang wajib kuketahui tentang agamaku sendiri, tentang kewajiban-kewajibanku pada Rabbku, hanya karena kata-kata manusia yang kebenarannya belum jelas. 

Tak ingin salah mengambil keputusan, aku meminta petunjukNya lewat shalat istikharah. Bagi seseorang yang belum tahu apa yang benar dan salah bagi dirinya, aku yakin akan mendapat bimbingan jika bersandar padaNya, jika bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran. Kebingunganku pun usai setelah melakukan istikharah, keyakinan untuk melanjutkan tarbiyah tiap Jumat siang itu kuanggap jawaban dari Tuhan. 

***
Usai menamatkan bangku SMA, kulanjutkan studi ke bangku kuliah di kota Angin Mammiri. Yap, kota Makassar yang juga dijuluki "serambi Madinah". Tanpa rekomendasi murabbiyah dan semua kontak dengan teman tarbiyah terputus sama sekali, qadarullah tarbiyahku tak lantas berhenti. Aku memulai dari nol lagi, mendapat info pesantren kilat justru dari seorang teman kelas. Hanya kami berdua dari fakultas berbeda yang selanjutnya kuketahui tak pernah tergabung dengan organisasi yang mengadakan pesantren kilat tersebut. Aku takjub dengan kegiatannya yang memasang hijab rapi sebagai pemisah antara peserta laki-laki dan perempuan. Pemandangan yang lantas terasa akrab bagi hati ini. Kutemui kakak-kakak senior dengan jilbab lebarnya sebagaimana murabbiyahku dulu. 

Aktivitasku menimba ilmu agama sangat mirip dengan yang kujalani sewaktu SMA. Melakoni dua tempat kajian yang berbeda. Hingga suatu hari lagi-lagi menghadapi dilema karena harus memilih. Benar-benar berat untuk memutuskan. Di tengah kebingungan itu aku berusaha memutuskan sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa kupercaya untuk kumintai pendapatnya, termasuk teman yang mengajakku ikut kajian di fakultas sebelah. Bagiku ini soal hubunganku dengan Allah, tak boleh ada yang mendikteku dalam urusan sesakral ini. Hanya perlu mengajukan tanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya aku cari...?! Apa tujuanku belajar agama tiap pekan...? Bukankah aku belajar agama agar semakin mengenal agama ini? Mengenal hakikat penciptaanku, lewat cara-cara yang ditempuh dan diajarkan oleh Sang Nabi? 

Setelah berdiskusi dengan pikiran sendiri, tentunya dengan tetap meminta petunjukNya agar tak salah mengambil keputusan, akhirnya aku pun memilih. Tetap tarbiyah di tempat awal kudengar Al-Qur'an dan Sunnah disebutkan kala menjelaskan segala sesuatu yang wajib diketahui oleh setiap jiwa yang memiliki iman. 

Di sinilah, kutapaki jejak para pendahulu yang telah membuktikan cinta mereka pada Rabbnya. Sebelumnya aku tak pernah tahu segala aktivitas kajianku berada dalam lingkupnya. Sebuah organisasi bernama Wahdah Islamiyah yang tak henti mengenalkan manusia tentang iman dari perkotaan hingga pelosok pedesaan. 

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Total Tayangan Halaman